Hidup seringkali harus dilanjutkan dengan cara yang tidak kita inginkan.
Seringkali,
sebagian besar begitu.
Atau ….
Mungkin aku yang sedang beruntung hari ini.
-frozzy-
Hidup seringkali harus dilanjutkan dengan cara yang tidak kita inginkan.
Seringkali,
sebagian besar begitu.
Atau ….
Mungkin aku yang sedang beruntung hari ini.
-frozzy-
“Kita sama-sama suka hujan”, sahutmu tiba-tiba.
“Sok tau, aku tidak pernah bilang aku suka hujan”, tukasku pelan tapi tajam.
“Baiklah, aku perbaiki pernyataanku barusan. Kita sama-sama butuh hujan”, kali ini kamu melengkungkan senyum, sedikit saja, tapi aku tahu kamu bermaksud meledekku.
Kemudian sepi, tidak ada perbincangan selanjutnya. Aku, kamu, hanya terdiam berdua, memandangi jejak hujan yang masih tersisa, menetes sebutir demi sebutir dari ujung atap.
“Sudah menangisnya ?” sahutmu, mengagetkan lamunanku.
“… maksudmu ?” tanyaku dengan alis terangkat sebelah. Sedikit kulirik jendela di depanku, mengecek pantulanku kalau-kalau memang ada jejak yang tertinggal. Sia-sia, embun yang menempel sama sekali tidak memberiku kesempatan. Sedangkan kamu, tetap tersenyum, kali ini simpatik, mengulurkan kotak tissue. “Hujan ini memang bangsat. Tangannya selalu terbuka lebar-lebar, kemarilah, katanya. Menangislah dipelukku,” lanjutmu sembari menyesap kopimu yang baru saja tiba.
“Buatku itu semacam mantra yang menyihir. Tiba-tiba saja aku sudah terbenam di dalamnya, dihujam tetesnya, dengan cara yang sederhana, seperti pelukan.” Balasku, entah karena hujan atau karena orang baru ini memang juga pandai menghipnotis.
Tiba-tiba saja kami bertukar cerita, sesekali ditimpali gurauan. Tak ada sungkan dan malu sedikitpun. Sampai kemudian kami masing-masing pulang, membawa cangkir yang telah kosong.
Lepaskan, Dengarkan, Biaskan yang membisu
Lepaskan, Dengarkan, Biaskan yang membiru
*Terinspirasi hujan dan Banda Neira
Merindumu seperti menyesap kopi.
Hitam dan tanpa gula.
Menyesapnya perlahan menyadarkanku seketika dari mimpi.
Pahit.
Merindumu dan tak berbalas.
Begitu seterusnya sampai kopiku tandas.
Tak bersisa.
Tertinggal rindu yang tak selesai.
Bukan kamu yang tak nyata
Tapi rasa yang tak kunjung bersua.
-SELAMAT MENUNAIKAN RINDU-
Mencoba menulis kembali setelah sekian lama tidak melakukan aktivitas ini memang bukan hal yang mudah. Tangan yang biasanya lincah menari di atas tuts ketik demi menampung ide yang senantiasa membanjiri benak hingga mengejawantah menjadi aksara penuh makna mendadak menjadi beku dan kaku. Sebaris kalimat yang sudah dijalin dengan susah payah dengan mudahnya dihantam tombol delete hanya karena tidak merasa sehati dengan kalimat itu. Kata orang memulai itu memang tidak mudah, perlu determinasi dan mungkin untuk saya, saya tidak perlu terlalu peduli dengan pendapat orang mengenai tulisan saya. Karena saat ini yang penting adalah saya mau memulai menulis kembali. Saya butuh detoks, saya butuh melemaskan kembali jari-jari ini, saya butuh memperkaya benak dan pikiran saya kembali. Ya, saya menulis kembali karena saya butuh.
Biarkan aksara meledakkan maknanya;
Biarkan benak memuntahkan kegelisahannya…
Sekedar berada di sini
Di sampingmu
Meresapi sepi
Aku
Kamu
Berulang kueja, berharap ada rangkaian aksara darinya yang bisa kueja menjadi kita.
Berharap kita tidak sekedar kemewahan yang hanya terjangkau oleh mimpi.
Aku
Kamu
Berulang kurapal, serupa mantra yang kiranya bisa meruntuhkan tembok dingin yang berdiri angkuh di antara aku dan kamu.
Kita
Adalah kemewahan yang belum bisa kujangkau selama hanya ada aku dan kamu.