Seperti Bintang Indah Matamu
Andaikan Sinarnya Untuk Aku
Seperti Ombak Debar Jantungku
Menanti Jawabanmu
(Yovie & Nuno “Seperti Bintang”)
———————————————————–
Hari ini mereka bertemu lagi, di tempat yang berbeda, dan situasi yang juga berbeda. Tidak ada diskusi seru seperti biasanya, tidak ada komentar-komentar lucu tentang keadaan di sekitar mereka saat itu. Hanya ada senyap yang melingkupi keduanya, diselingi helaan napas dan hembusan asap rokok keduanya. Mars dan Lea hanya berharap bisa saling mengalirkan energi rindu yang sudah sangat menyesakkan sejak pertemuan pertama mereka. Bahkan sebaris kata-kata pun sudah tidak sanggup menyampaikan sejuta rasa yang mereka tanggung saat ini.
“Ya? kamu manggil aku barusan ?” tanya Lea sambil mengalihkan pandangannya ke Mars.
“Kok ? Kamu dengar ?” tanya Mars keheranan.
“Lho, iyalah, kamu kan sebelah aku”
“Iya, tapi aku kan tadi manggil kamu dalam hati”
“What? maksud kamu seperti telepati gitu ?” tanya Lea lagi seraya menyipitkan matanya, tak percaya.
“Well, I don’t know exactly what it calls, but I’m just trying to reach you, Lea. Aku kesulitan untuk menyampaikan semua rasa yang sudah aku tanggung berhari-hari ini.”
“Sama, aku juga tidak tahu bagaimana harus merespon rasa yang hendak kamu sampaikan ke aku” jawab Lea lirih seraya memandang lurus ke arah jalan yang basah sisa hujan sore tadi.
“Ya, aku bisa merasakannya dari bahasa tubuhmu yang tarik ulur. Tapi tidak semua bisa aku tangkap dengan sempurna. Kamu yang begitu berwarna-warni, membuatku menebak-nebak.”
Kembali senyap yang melingkupi keduanya. Entah kenapa tiba-tiba Lea mengajak Mars untuk bertemu lagi di tempat ini, padahal baru semalam mereka bertemu. Tapi justru pertemuan itu seolah menjadi stimulus buat Lea untuk kembali bertemu dengan Mars. Mars bagaikan kutub magnet berlawanan yang akan terus menariknya untuk mengecap kebersamaan berulang dan berulang lagi.
Argh….secepat itukah perasaanku berkembang ? keluh Lea dalam hati seraya menyulut sebatang rokok yang terselip di bibirnya. Lea masih berusaha mencerna apa sebenarnya yang dia rasakan terhadap Mars. Berusaha mendefinisikan rasa rindu yang sudah menyiksanya sekaligus menenangkan hatinya beberapa waktu ini. Untuk apa rindu itu ? Hanya perasaan sesaatkah, atau inilah bentuk awal dari perasaan sebenarnya yang coba Lea sangkal selama ini, J.A.T.U.H.C.I.N.T.A. Secepat itukah perasaannya yang dingin telah mencair ? Semudah itukah mencairkan kebekuan hati seorang Lea ? Lea terus berusaha keras mencari penjelasan logis untuk semua pertanyaan itu.
“Mo diem-dieman aja nih kita ?” tanya Mars.
“Emang mo ngapain ?” tanya Lea tanpa mengalihkan perhatiannya dari sekumpulan ABG yang sedang bermain skateboard.
“Kita ngopi aja lah, disini dingin” kata Mars seraya menggandeng tangan Lea. Lea tidak menarik tangannya, malah makin mempererat genggamannya ke tangan Mars. Perlahan ada aliran hangat yang Mars rasakan saat itu dan dia tidak mampu menahan dirinya untuk tidak tersenyum sendiri, merayakan kebahagiaan kecil yang hanya ingin dia bagi dengan Lea.
“Ehm, what are you smiling for ?”
“Kamu…………”
“Heuh ?”
“Kamu mo minum apa ?” tanya Mars tidak mempedulikan ekspresi aneh Lea.
“Hot mocha” jawab Lea singkat.
“Hot mocha dua” pinta Mars pada barista yang ada di balik meja kasir.
Tidak lama kemudian mereka berdua sudah kembali ngobrol seperti biasanya, membahas hal-hal umum disekitar mereka, seolah-olah mereka berdua hanyalah teman biasa. Walaupun begitu, mereka juga sibuk dengan pikiran mereka sendiri tentang satu sama lain. Lea yang merasakan lebih nyaman dengan kondisi seperti ini, dan berbarengan dengan itu timbul pula kekhawatiran dalam diri Lea kalau semuanya akan berubah apabila mereka jadi sepasang kekasih.
“Lea, besok pagi aku berangkat ke NTT”
“Ha ?”
“Iya…besok, aku pergi selama 3 minggu, biasalah, kunjungan rutin” jawab Mars sambil memandang Lea lekat-lekat.
“Lea, terlalu banyak hal yang terjadi antara kita dalam jangka waktu yang singkat ini. Terus-terang aku khawatir dengan perasaanku sendiri. Aku berpikir, mungkin selama aku pergi, perasaanmu mungkin saja berubah. Kamu yang begitu dingin, tapi mendadak kamu bisa ngobrol, bercerita dengan begitu hangat, mungkin begitupun dengan perasaanmu padaku, sementara perasaanku sendiri berkembang begitu cepat, dengan tendensi yang terus meningkat, bagaimana kalau ternyata ternyata tidak berbanding lurus dengan perasaanmu ?”
Lea terdiam, dan hanya tertunduk lesu.
“Mars, maafkan aku, saat ini aku betul-betul tidak bisa menterjemahkan perasaanku sendiri. Satu-satunya yang aku pahami adalah aku merasa nyaman selama berada di dekat kamu, tapi aku merasa masih terlalu dini untuk memastikan rasa ini, Mars.” Jawab Lea lirih
“Boleh aku tanya sesuatu, Lea ?”
“Hm…apa ?”
“Apakah ada rasa rindumu untukku walaupun hanya sedikit, sehingga bisa jadi alasan untukku untuk menemuimu lagi?”
Diam….semenit….dua menit…..lima menit…… Lea hanya sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya.
“Lea, aku tuh lagi ngomong sama kamu, please hargain aku dong” nada suara Mars tiba-tiba meninggi.
“nih, baca…..” jawab Lea seraya mengacungkan ponselnya ke muka Mars….
i miss u
what more can i say?
i miss ur smile
i miss ur honesty
i miss ur voice
what more can i say
well, i’m gonna miss u
sesaat kemudian, Mars menarik Lea ke pelukannya.
“Lea, aku bisa merasakanmu melalui bahasa yang tidak ekspresif, tapi sekarang aku berharap akan jauh lebih mudah dengan kamu mulai bisa mengekspresikan rasamu seperti ini, walaupun dengan cara yang tidak lazim.” kata Mars sambil tersenyum, ada hawa hangat yang mengaliri hatinya saat itu.
“Argh, udah ah, I hate PDA” jawab Lea seraya melepaskan pelukan Mars. Dalam hatinya, Lea mengutuki dirinya sendiri, karena masih sangat ingin berlama-lama di dalam pelukan Mars, nyaman sekali rasanya dipeluk, sudah lama sekali dia tidak merasakan sensasi seperti itu. tapi lagi-lagi ego mencegahnya untuk melakukan hal-hal spontan yang sejak tadi ingin dia lakukan.
“PDA ?” Mars mengerutkan keningnya
“Public Display Affection” jawab Lea ketus sambil menyesap hot mocha-nya perlahan. Dia tersenyum samar.
“Lea…Lea….”Mars mengeleng-geleng seraya mengucek rambut Lea perlahan.
“Kita pulang yuk, biar ga perlu PDA” kata Mars seraya mengedip usil pada Lea.
“What ??”
“Huahahahahaha….”
************
Sudah hampir tiga jam Mars belum mampu memejamkan matanya. Peristiwa tadi di taman, coffee shop, di rumah Lea bergantian muncul di otaknya, layaknya film yang terus diputar berulang-ulang. Kali ini dia sudah tidak menyangkal getaran itu, rasa itu. Dia ingin menikmati setiap inci perasaan yang akhirnya dia akui sebagai J.A.T.U.H.C.I.N.T.A.
Rasanya masih tersisa di bibirku
Tidak manis, tidak juga hambar
Dingin menthol yang sesaat
Membekukan akal sehatku
Ah, Aku ingin merasakannya sekali lagi.
Send to Lea
“Argh…. kenapa kamu belum membalas juga sih Lea ?”
Mata Lea masih terpaku di hadapan layar monitor komputernya. Perlahan jari-jarinya mengalirkan segala rasa yang saat ini sedang membuncah di hatinya melalui keyboard di hadapannya..
Pendarnya mulai menyilaukan mata
Panasnya mulai menusuk kulit
Tersembunyi di sudut jiwa
Bernama rindu kesumat
Haruskah pendarnya kuredupkan
Haruskah panasnya kunetralkan
Ataukah rasa itu sendiri yang harus kuenyahkan.
Sejak tadi, Lea tidak tahu harus membalas apa pesan singkat yang dikirimkan Mars kepadanya. Apa yang coba disampaikan oleh Mars lewat pesan singkat itu persis sama seperti apa yang sedang dia rasakan saat ini. Tapi dengan perginya Mars selama beberapa waktu ke depan membuatnya kembali meragu untuk mencari tahu sejauh mana rasa itu akan berkembang. Ragu, takut, ragu, takut, semua bercampur aduk mengacaukan akal sehat Lea. Mungkin sebaiknya dia simpan dulu sejenak semuanya dalam senyap, sambil menantikan hatinya mencair dan menghangat kembali.
******************