KITA SAMA-SAMA SUKA HUJAN

“Kita sama-sama suka hujan”, sahutmu tiba-tiba.

“Sok tau, aku tidak pernah bilang aku suka hujan”, tukasku pelan tapi tajam.

“Baiklah, aku perbaiki pernyataanku barusan. Kita sama-sama butuh hujan”, kali ini kamu melengkungkan senyum, sedikit saja, tapi aku tahu kamu bermaksud meledekku.

Kemudian sepi, tidak ada perbincangan selanjutnya. Aku, kamu, hanya terdiam berdua, memandangi jejak hujan yang masih tersisa, menetes sebutir demi sebutir dari ujung atap.

“Sudah menangisnya ?” sahutmu, mengagetkan lamunanku.

“… maksudmu ?” tanyaku dengan alis terangkat sebelah. Sedikit kulirik jendela di depanku, mengecek pantulanku kalau-kalau memang ada jejak yang tertinggal. Sia-sia, embun yang menempel sama sekali tidak memberiku kesempatan. Sedangkan kamu, tetap tersenyum, kali ini simpatik, mengulurkan kotak tissue. “Hujan ini memang bangsat. Tangannya selalu terbuka lebar-lebar, kemarilah, katanya. Menangislah dipelukku,” lanjutmu sembari menyesap kopimu yang baru saja tiba.

“Buatku itu semacam mantra yang menyihir. Tiba-tiba saja aku sudah terbenam di dalamnya, dihujam tetesnya, dengan cara yang sederhana, seperti pelukan.” Balasku, entah karena hujan atau karena orang baru ini memang juga pandai menghipnotis.

Tiba-tiba saja kami bertukar cerita, sesekali ditimpali gurauan. Tak ada sungkan dan malu sedikitpun. Sampai kemudian kami masing-masing pulang, membawa cangkir yang telah kosong.

hujan-jendela-compressor

 

 

Lepaskan, Dengarkan, Biaskan yang membisu

Lepaskan, Dengarkan, Biaskan yang membiru

 

*Terinspirasi hujan dan Banda Neira

RINDU DALAM SECANGKIR KOPI

black-coffee-butterfly-1920x1080

Merindumu seperti menyesap kopi.

Hitam dan tanpa gula.

Menyesapnya perlahan menyadarkanku seketika dari mimpi.

Pahit.

Merindumu dan tak berbalas.

Begitu seterusnya sampai kopiku tandas.

Tak bersisa.

Tertinggal rindu yang tak selesai.

Bukan kamu yang tak nyata

Tapi rasa yang tak kunjung bersua.

-SELAMAT MENUNAIKAN RINDU-

MERINDU

Merindu itu jujur, sabda hati yang tak bisa dipungkiri.
Kata orang kau meracau.
Kataku tidak.
Kau hanya sedang jujur.
Meracaulah sepuasmu
Karena rindu terlalu luas untuk dirangkum
Meracaulah sejujurnya
Karena rindu terlalu indah untuk disembunyikan

 

 

(OMONG) KOSONG

gothic9

Dia kumpulkan lembar demi lembar harapan,

kemudian menambal dan menyulam mimpi yang setiap kali koyak.

Begitu seterusnya sampai jarum keteguhannya menumpul.

Mimpi koyak…

Hanya tersisa kain compang-camping omong kosong.

AKU, KAMU, (KITA)

Sekedar berada di sini
Di sampingmu
Meresapi sepi

Sekedar berada di sini
Di sampingmu
Sebentar lagi

Aku
Kamu
Berulang kueja, berharap ada rangkaian aksara darinya yang bisa kueja menjadi kita.
Berharap kita tidak sekedar kemewahan yang hanya terjangkau oleh mimpi.

Aku
Kamu
Berulang kurapal, serupa mantra yang kiranya bisa meruntuhkan tembok dingin yang berdiri angkuh di antara aku dan kamu.

Kita
Adalah kemewahan yang belum bisa kujangkau selama hanya ada aku dan kamu.

SSSTTTT….

 

kalau ada bening yang harus disembunyikan
sembunyikan semua di balik topeng
birumu
merahmu

kalau ada luka yang harus ditutup
balut dengan senyummu
birumu
merahmu

lari sekuatmu
sembunyi sebisamu
sampai sesak
sampai tak bisa bernafas

Sssst….
Ada Dia yang tahu….
Sssst….
Ada Dia yang lihat…
Ssst…

gothic9

 

RASA ANONIM

Karena beberapa hal sebaiknya dibiarkan tak terungkap, maka aku memilih diam dan membiarkan rasa itu tak bernama. Aku tahu rasa itu terlalu liar untuk dibiarkan berkembang dan berlompatan kesana-kemari sesukanya. Ada dinding yang akan berderak karena tubrukan yang ditimbulkannya walaupun tak bisa dipungkiri ada kekaguman akan percikan yang ditimbulkan setiap kali rasa itu berlompatan kesana-kemari, menubruk tanpa kendali.

HATI – si produsen rasa yang tidak seharusnya diberi nama itu – memang tidak dapat ditebak. Ketika aku melonggarkan sedikit saja penjagaan atasnya, absen beberapa waktu saja untuk mendidiknya, dia berkhianat dan membuatku tersentak.

“Apakah ini rasa….. hmm…..?”

“bukan…. pasti bukan itu namanya!!!”

Karena RASA itu memang tidak seharusnya diberi nama.

SEKEDAR CORETAN YANG ENTAH

Garis bibir sedikit tertarik.

Senyum tersungging.

Tipis saja

Entah merayakan apa.

 

Tidak selayaknya dirayakan, tapi setidaknya cukup layak untuk dinikmati.

Seperti menikmati udara segar setelah seharian berkutat dengan kepengapan dan kepenatan.

Rasanya menyegarkan.

Ya, cuma butuh penyegaran, tidak lebih.

Mendidik hati membuatnya mampu mengontrol monster yang terkadang terbangun dari tidur panjangnya di dalam sana.